Dalam catatan kuratorialnya budayawan Sindhunata menyatakan, Menakjinggo adalah tokoh klasik, yang penuh paradoks dan kontroversi. Kiranya ia bisa menjadi materi yang menarik dan membuat penasaran bagi sebuah inspirasi seni yang menampilkan sisi lain dari Menakjinggo, anekdotnya, wajahnya, tingkah lakunya, tragikanya, dan yang berkaitan dengan paradoks-paradoks dan parodi-parodi politik di zaman sekarang.
Dalam kisah yang klasik diutarakan: Menakjinggo adalah adipati di Blambangan, yang memberontak pada Majapahit, dan sekaligus ingin mempersunting Ratu Kencanawungu, ratu Majapahit, sebagai isterinya. Kencanawungu mendapat wangsit, hanya Darmawulan, anak desa yang bekerja di kandang kuda itulah orang yang dapat menumpas Menakjinggo. Maka ia memerintahkan Patih Logender untuk memanggil Damarwulan, kemudian mengutus Damarwulan ke Blambangan untuk membinasakan Menakjinggo.
Sebelum berangkat, Damarwulan berpamit pada Anjasmara, kekasihnya. Anjasmara sendiri sesungguhnya adalah anak Patih Logender. Menakjinggo ternyata tidak mudah dikalahkan. Malah Damarwulan sendiri yang hampir mati dalam pertarungan melawan Menakjinggo. Waktu inilah Damarwulan menyanyikan lagu yang amat romantis: ia pamit mati kepada Anjasmara. Akhirnya berkat bantuan dan pengkhianatan kedua selir Menakjinggo, Wahita dan Puyengan, Damarwulan bisa memperoleh pusaka sakti Menakjinggo, bernama Gadha Wesi Kuning. Dengan gadha Wesi Kuning itulah akhirnya Damarwulan bisa membunuh Menakjinggo.
Kepala penguasa di Blambangan ini kemudian mau dihaturkan Damarwulan ke hadapan Ratu Kencanawungu. Tapi di tengah jalan Damarwulan ditiup oleh Layang Seta dan Layang Kumitir, kedua anak Patih Logender, yang memang tidak menyukai dan menjadi saingan Damarwulan. Kemudian, setelah diadu, Damarwulan ternyata menang atas Layang Seta Layang Kumitir. Ialah yang berhak mempersunting Kencanawungu, dan menjadi penguasa Majapahit.
Sindhunata menambahkan, selain versi di atas, ada versi lain yang menerangkan, siapa Menakjinggo sesungguhnya. Dulu Menakjinggo adalah satria yang tampan bernama Jaka Umbaran. Waktu itu Majapahit harus menghadapi pemberontakan bupati Lumajang, bernama Kebo Marcuet. Entah mengapa, Kebo Marcuet ini dilukiskan sebagai manusia berkepala kerbau. Kebo Marcuet juga ingin mempersunting Kencanawungu.
Kencanawungu lalu membuat sayembara, siapa dapat mengalahkan Kebo Marcuet, dia berhak mempersunting dia. Jaka Umbaran maju sayembara, dan ternyata ia bisa mengalahkan Kebo Marcuet. Namun malang tak dapat diduga, kendati akhirnya menang, wajah Jaka Umbaran menjadi tidak karu-karuan. Wajahnya menjadi seperti wajah “asu”, karena diinjak-injak Kebo Marcuet. Dengan berwajah “asu” itu, Jaka Umbaran melaporkan kemenangannya pada Kencanawungu.
Melihat Jaka Umbaran seperti “asu”, Kencanawungu mengkhianati janjinya sendiri. Ia tidak sudi menerima pinangan Jaka Umbaran. Tentu saja Jaka Umbaran jadi sakit hati, ia lalu menjadi penguasa Blambangan yang terkenal dengan nama Menakjinggo, dan memberontak pada Majapahit.
Menurut Sindhunata, di balik versi ini sebenarnya terkandung spekulasi yang menarik: Menakjinggo adalah tokoh yang negatif dan jelek, karena ia adalah pemberontak terhadap kekuasaan pusat. Dalam sistem kraton dan kekuasaan Jawa, semua harus tunduk pada pusat, siapa tidak tunduk, dia tidak hanya pemberontak, tapi juga tokoh yang jahat dan jelek.
Dan itulah Menakjinggo, sampai ia dilukiskan manusia berwajah “asu”. Betapa jahatnya kekuasaan dalam memelintir kenyataan mereka yang tidak menyetujuinya. Dalam hal ini Menakjinggo menjadi tokoh yang tragis. Kiranya ini bisa menjadi refleksi yang relevan sampai kini. Konflik antara pusat dan daerah ternyata sudah lama terjadi bumi Nusantara ini.
Perlu diingat, tutur Sindhunata, Menakjinggo mempunyai seorang abdi bernama Dayun. Ke mana-mana abdi itu mengikutinya. Pasangan raja dan abdi ini dalam ketoprak dilukiskan sebagai pasangan yang penuh parodi dan humor, lebih-lebih bila mereka sedang bersambung kata-kata dan berdialog.
Siapakah kira-kira Menakjinggo dalam tatanan politik kita sekarang ini, dan manakah tragika-tragika politik yang ada, seperti tragika politik di zaman Menakjinggo?
KALIM/Sumber: Bentara Budaya Yogyakarta
No comments:
Post a Comment